Jumat, 13 November 2015

CONTOH KASUS PELANGGARAN ITE



KASUS PELANGGARAN UU ITE

Muhammad arsyad atau lebih disingkat MA (23), warga ciracas, Jakarta timur  ini harus merasakan dinginnya sel penjara di markas besar kepolisian republic indonesia karena dituding mem-bully presiden joko widodo (jokowi) di akun facebook miliknya. Penahanan ini sangat mengejutkan warga dunia maya yang biasa disebut netizen.
Kuasa hukum  MA, irfan fahmi, mengatakan MA ditangkap dirumahnya pada kamis 23 oktober 2014 oleh empat penyidik mabes polri berpakaian sipil. Dia langsung dibawa ke Mabes polri dan dalam waktu 1x24 jam langsung dilakukan penahanan. MA ditahan di markas besar polisi republic Indonesia sejak tanggal 25 oktober 2015. Warga ciracas, Jakarta timur, ini memuat bebarapa konten yang menghina jokowi dalam akun facebook pribadinya saat kampanye bulan juli 2014. Dia hanya ikut-ikutan pengguna facebook lain yang riuh mengikuti perkembangan politik. “dia hanya terjebak situasi politik saat itu” ujar irfan.
 Proses Pelaporan dan penangkapan Muhammad arsyad
Sebelum mengunggah gambar, Arsyad diketahui telah bergabung ke beberapa kelompok yang dengan sengaja melakukan penghinaan dan melakukan pencemaran nama baik terhadap Joko Widodo di jejaring sosial Facebook dengan nama pengguna Arsyad Assegaf. Arsyad kemudian mengunggah montase gambar hasil rekayasa yang memperlihatkan Joko Widodo dalam kondisi telanjang tengah berhubungan seksual dengan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Gambar ini kemudian dilihat dan dilaporkan oleh pengacara sekaligus politisi PDIP, Hendri Yosodininggrat pada tanggal 27 Juli 2014, namun baru bisa diproses kepolisian setelah Pemilihan Presiden 2014 usai.
Karena sedang berada dalam masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, Polisi memutuskan untuk menunda proses laporan hingga bulan Agustus 2014. Pada pemeriksaan awal, pihak Polri meminta keterangan dari pelapor, yaitu Hendry di bulan Agustus 2014, kemudian dilanjutkan pemeriksaan terhadap Joko Widodo sebagai korban pada 10 Oktober 2014. Setelah bukti mencukupi, tim cyber crime Polri langsung melakukan penyergapan.
Arsyad ditangkap di rumahnya di Gang Jum, Kelurahan Kampung Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, Kamis pagi, 23 Oktober 2014, pukul 07.00. Saat itu Arsyad tengah tertidur sepulang mengantarkan dua adiknya di sekolah. Empat polisi tanpa seragam masuk ke rumah dan menunjukkan surat penangkapan serta gambar-gambar di telepon seluler kepada Arsyad. Saat Arsyad hendak dibawa, Ibu Arsyad, Mursyidah, mengamuk dan membuang barang-barang di rumahnya. Ia pun sempat lari ke tepi Kali Cipinang dengan niat bunuh diri. Polisi kemudian menenangkan dan menyatakan bahwa tujuan penangkapan tersebut adalah untuk melindungi Arsyad. Arsyad ditahan dengan tuduhan utama melanggar pasal pornografi No 44 tahun 2008 tentang pornografi. Selain itu ia juga dikenai pasa‎l 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan secara tertulis. Pihak Polri menyita 1 barang bukti, yaitu akun Facebook atas nama "Arsyad Assegaf (anti Jokowi)".
Proses hokum Muhammad arsyad
Pada 29 Oktober 2014, pelapor Henry Yosdiningrat menyatakan bahwa Joko Widodo sebagai korban telah sepenuhnya memaafkan Arsyad, namun berkaitan dengan kasus pornografi, proses hukum terhadap Arsyad tetap dilanjutkan. Tak lama setelah penangkapannya, Arsyad menunjukkan tanda-tanda depresi. Arsyad sempat dilarikan ke RS Polri pada hari kamis, 30 Oktober 2014. Begitu tiba di rumah sakit, ia diberi makan dan diinfus selama beberapa jam. Setelah perawatan selesai, ia segar kembali. Ibu Arsyad, Mursyidah, diketahui juga dalam kondisi lemah karena menolak untuk makan.
Keesokan harinya, 31 Oktober 2014, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon menemui orang tua Arsyad di Ciracas, Jakarta Timur, dan menyatakan ingin membantu proses penangguhan Arsyad yang ketika itu sudah ditahan, dengan menyiapkan tim pengacara. Sebelum bertemu dengan petugas kepolisian, Fadli Zon memberikan pernyataan bahwa pemerintah tidak seharusnya mengkriminalisasi wong cilik, dan hukum harus bisa tegas kepada siapa pun yang melanggar, baik wong cilik maupun pejabat tinggi negara. Di hari yang sama, ia dan keluarga Arsyad mengunjungi Arsyad di Bareskim dan menyampaikan bahwa kasus ini berlebihan dan merupakan bentuk politisasi hukum dan cari muka. Ia juga mempertanyakan mengapa polisi tidak memproses kasus-kasus penghinaan terhadap dirinya dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Setelah rapat dengan petugas kepolisian selesai, Fadli Zon menyatakan bahwa polisi telah bekerja sebagaimana mestinya. Fadli Zon menyatakan bahwa ternyata polisi telah memproses kasus-kasus penghinaan terhadap dirinya dan Prabowo Subianto.
Pada 1 November 2014, Mursyidah, ibu Arsyad, beserta suaminya, Syafruddin, menemui Presiden Joko Widodo dan Iriana Widodo. Dalam pertemuan ini, Joko Widodo menyatakan secara langsung bahwa ia telah sepenuhnya memaafkan Arsyad dan menjamin penangguhan penahanan. Mursyidah juga menerima sejumlah uang sebagai modal usaha dari Iriana Widodo.
Penangguhan penahanan dan hukuman
Pada 3 November 2014, Polri memberikan penangguhan penahanan dengan beberapa pertimbangan, antara lain jaminan dari pelaku untuk tidak melarikan diri, merusak barang bukti, maupun mengulangi perbuatannya. Ia di antar ke rumahnya oleh empat orang penyidik Polri. Keluarga MA, dibantu warga juga mengadakan syukuran di rumahnya atas penangguhan penahanan tersebut. Meski mendapat penangguhan penahanan oleh pihak kepolisian, Muhammad Arsyad tetap tak lepas dari sanksi sosial yang diberikan warga di lingkungan rumahnya, berupa kewajiban untuk membersihkan mushalla selama satu minggu dan wajib lapor dua kali seminggu, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Namun karena bukan termasuk jenis delik aduan, proses hukum terhadap Arsyad tetap dijalankan.

Contoh kasus diatas merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 11 pasal 27 ayat 3 Tahun 2008 tentang ITE. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahawa :
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik "

Ketentuan pidana dalam atas pelanggaran pasal 27 ayat 3 yaitu :
"Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) dan denda paling banyak 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Oleh karena itu dengan adanya hukum tertulis yang telah mengatur kita hendaknya kita selalu berhati-hati dalam berkomunikasi menggunakan media.  Menurut saya dengan adanya kasus ini yang telah menimpa orang yang berprofesi sebagai tukang sate menjadi tersangka atas pencemaran nama baik. Maka dari itu kita harus berhati-hati dalam menghadapi perkembangan Teknologi di era globalisasi ini. Hendaknya kita dapat mengontrol diri kita sendiri jika akan menulis di sebuah akun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar