Senin, 02 Mei 2016

MASALAH PEREKONOMIAN DALAM KOORDINASI DUNIA PENDIDIKAN DAN INDUSTRI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dunia Pendidikan dan Industri dalam Meningkatkan Daya Saing Tenaga Kerja dan Industri” paling tidak mengandung suatu makna penting bagi perekonomian nasional. Makna ini terutama tentang berbagai aspek dalam hubungan/keterkaitan dan kesesuaian antara dunia pendidikan sebagai supplier tenaga kerja dengan dunia kerja sebagai demand tenaga kerja. Ditengarai adanya mismatch jenis dan kualitas kompetensi supply tenaga kerja yang dihasilkan dunia pendidikan dengan permintaan (kebutuhan) tenaga kerja oleh dunia kerja. Keadaan ini jelas memperburuk keadaan over supply tenaga kerja di Indonesia yang secara langsung mengakibatkan relatif rendahnya kapasitas/daya saing tenaga kerja yang selanjutnya melemahkan daya saing dunia usaha khususnya dunia industri sebagai "leading sector" dalam perekonomian industri.
Berdasarkan data statistik angka pengangguran, tingginya lowongan kerja tak terisi, rendahnya kualitas pekerja, maupun hasil analisis data sakernas menunjukkkan bahwa hubungan pendidikan dan tuntutan dunia industri masih tinggi. Studi ini bertujuan mengukur implementasi antara dunia pendidikan dan industri. Selain mengkaji berbagai kebijakan bidang pendidikan, industri, dan tenaga kerja, studi ini juga menggunakan metode survei terhadap para pekerja di beberapa industry. terpilih di propins Jakarta  yang merupakan daerah dengan pangsa industry tertinggi, dan tingkat pengangguran yang juga tinggi. Dengan melakukan kajian tentang implementasi kecocokan dunia pendidikan dan industri, diharapkan dapat menghasilkan rumusan strategi untuk menyelaraskan sistem pendidikan menengah ke atas yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pasar kerja. Kesesusaian kompetensi dengan jenis pekerjaan, akan meningkatkan daya saing tenaga kerja dan juga industri (usaha), yang pada gilirannya akan memperkuat perekonomian nasional.
Permasalahan penting SDM di Indonesia tentu saja selain terletak pada tingginya tenaga kerja terdidik yang tidak terserap di dunia kerja, juga munculnya misallocation of human resources, yaitu adanya kesenjangan yang terjadi antara pasar tenaga kerja dan dunia pendidikan. Hal ini antara lain tersirat dalam pernyataan Dirjen Depnakertrans, Tjetje Al Anshori bahwa 70% angkatan kerja tidak mampu memenuhi kualifi kasi lowongan kerja yang tersedia (dalam Job Expo, 17 Maret 2008). Pernyataan tersebut diangkat lagi oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Bersatu pertama, Erman Suparno bahwa tingginya lowongan kerja yang tidak terisi ditengarai oleh karena adanya ketidakcocokan antara kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja yang di antaranya karena kesenjangan keterampilan dan pendidikan.
Dalam menjembatani hal tersebut, sebetulnya Menteri Pendidikan Prof. Dr. Ing. Wardiman (Periode 1989-1998) telah mencanangkan program link and match antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Link and match adalah penggalian kompetensi yang dibutuhkan pasar kerja ke depan. Diharapkan paradigm orientasi pendidikan tidak lagi supply minded tapi lebih demand minded (kebutuhan pasar). Program link and match meliputi dua sasaran, yaitu pada tingkat sekolah menengah, dan pada tingkat perguruan tinggi. Khusus untuk sekolah menengah, sasaran program pemerintah (cq DEPDIKNAS) mengubah proporsi siswa SMU vs SMK 70:30, menjadi 30:70. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi diharapkan adanya peran industri untuk menciptakan pelatihan-pelatihan khusus bahkan bekerja sama untuk mendirikan institusi sesuai dengan jenis industri yang dikembangkan.
Sejak tahun 1994, Dewan Pengembangan Program Kemitraan Pendidikan Tinggi (DPPKPT) mengembangkan konsep Cooperative Academic Education Program (Co-Op) yang menjalin kerjasama dengan lebih dari 62 industri, terdiri dari manufaktur, perbankan hingga telekomunikasi. Namun demikian, pasca berjalannya program Link and Match (hampir dua dasawarsa), belum nampak hasil seperti yang diharapkan. Masih tinggi lulusan sarjana, di samping bekerja tidak sesuai dengan bidang studi, juga harus menunggu dalam waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, lowongan kerja yang tidak terisi semakin meningkat. Mengacu pada beberapa phenomena di atas, maka penelitian yang mengkaji implementasi kebijakan link and match dunia pendidikan dan industri sebagai salah satu upaya strategis untuk meningkatkan efi siensi, mutu tenaga kerja dan daya saing industri, layak untuk dilakukan.
Tingginya angka pengangguran dapat dijelaskan dari berbagai aspek, salah satu diantaranya adalah adanya ketidak selarasan (mismatch) antara supply tenaga kerja dan demand dunia usaha (industri). Pada tulisan  ini jawaban yang diberikan untuk menjelaskan tingginya angka pengangguran dilakukan menggunakan asumsi ketidak selarasan (mismatch) dunia pendidikan dan industry yang dikenal dengan istilah education mismatch atau education-job mismatch. Francesca Sgobbi and Fátima Suleman mengemukakan bahwa mismatch pendidikan terjadi oleh karena adanya heterogenitas kemampuan pekerja pada kualifi kasi pendidikan yang sama. Kesadaran dari adanya heterogenitas kemampuan dari para pekerja juga telah meningkatkan perhatian para peneliti untuk memusatkan pertanyaan penelitian nya terhadap mismatch pendidikan, khususnya di Negara-negara maju.

1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana menyikapi tentang permsalahan ekonomi tentang koordinasi dunia pendidikan dan industry?
2. Bagaimana koordinasi dunia pendidikan dan industry yang baik untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang ada?

1.3 Telaah literature
Berbagai teori dikemukakan dalam memahami fenomena keselarasan pendidikan ini. Beberapa diantaranya:
1.Sgobbi & Suleman (2007) dengan teori human capital, job matching, dan occupational mobility,
2.Brahim Boudarbat dan Victor Chernoff (2009) menggunakan human capital, credentialism, job matching, dan technological change theory,
3. Farooq, Javid, Ahmed, dan Khan (2009), mengemukakan human capital, job competition, career mobility, assignment model, signaling model, dan matching theory.
Dari ketiga kelompok peneliti tersebut paling tidak terdapat dua pendekatan yang sama, yaitu teori tentang human capital dan job matching, dimana mereka berpendapat bahwa mismatch pendidikan merupakan keadaan sementara yang terjadi akibat pertukaran informasi yang kurang memadai antara pemberi kerja dan pencari kerja. Hal ini paling tidak menunjukkan adanya in-effi siensi dalam alokasi sumber daya manusia (Farooq et al, 2009).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Koordinasi Dunia Pendidikan dan industry
Permasalahan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tingginya angka pengangguran disamping permasalahan lain seperti kualitas tenaga kerja, upah dan lain sebagainya. Sebagai pencari kerja dengan latar belakang pendidikan yang tinggi (dalam penelitian ini adalah mereka yang lulus Diploma 1 ke atas), mereka mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pencari kerja dengan tingkatan pendidikan di bawahnya (sekolah menengah dan sekolah dasar). Bagi dunia industri, para pencari kerja ini juga dilihat sebagai sumberdaya manusia dengan tuntutan dan perlakuan yang berbeda. Adanya dinamika yang muncul dalam dunia kerja memberikan dampak tersendiri baik itu bagi pekerja maupun perusahaan/dunia industri.
Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era yang ditandai dengan gencarnya inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja. Pendidikan harus mencerminkan proses memanusiakan manusia dalam arti mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat luas. Tingkat keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di segala bidang akan sangat bergantung pada sumber daya manusia sebagai aset bangsa dalam mengoptimalkan dan memaksimalkan perkembangan seluruh sumber daya manusia yang dimiliki. Upaya tersebut dapat dilakukan dan ditempuh melalui pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal.
Perubahan dan perkembangan industri yang jauh lebih cepat dan berkembang, sementara orientasi pendidikan tidak mudah melakukan penyesuaian terlebih dalam waktu yang singkat. Dicontohkan antara lain, perubahan tuntutan ketrampilan/keahlian tukang las misalnya. Pengajaran masih menggunakan bahan ajar dengan peralatan yang konvensional, padahal di dunia kerja sekitarnya sudah menggunakan perlatan kerja yang sangat modern masalah kurikulum pendidikan. Kurikulum nasional kurang sesuai dengan kondisi daerah/kondisi lokal. Belum ada panduan nasional yang berfungsi untuk menjadi pedoman pengembangan kurikulum sehingga mengakibatkan pengembangan kurikulum di daerah menjadi stagnan. Selain itu kurangnya interaksi antara dunia pendidikan dan industri, mengakibatkan kebutuhan perusahaan tidak dapat diakomodir oleh dinas pendidikan setempat pada saat penyusunan kurikulum dilakukan.
Dalam aspek yang lain, kurikulum diharapkan mampu mengembangkan keahlian para lulusan perguruan tinggi. Keterkaitan kurikulum dunia pendidikan dan industri diimplementasikan dalam membentuk Balai Besar Latihan Kerja Industri guna meningkatkan keahlian baik bagi calon tenaga kerja maupun para karyawan yang telah berkerja. rendahnya kondisi daya saing indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu:
a Buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga.
b. buruknya efi siensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fi skal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya,
c.lemahnya efi siensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum professional.
d. keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.
Tingginya tingkat pengangguran bagi mereka yang berpendidikan lebih tinggi ini antara lain dikarenakan tingkat persaingan yang lebih ketat di sektor formal-dimana para pencari kerja dengan pendidikan tinggi mengkonsentrasikan dirinya untuk bekerja sebagai pegawai atau staff . Sedangkan yang berpendidikan lebih rendah bisa lebih mudah untuk masuk ke sektor informal. Relatif tingginya tingkat pengangguran di kalangan pencari kerja dengan pendidikan tinggi ini juga merupakan indikasi adanya ketidaksinkronan keahlian antara yang diajarkan oleh lembaga pendidikan formal dan apa yang diminta oleh dunia industry.
Dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas pekerja, hendaknya ada kerjasama sinergis antara perusahaan, dunia pendidikan dan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memberikan training kepada pekerja melalui lembaga pelatihan. Sebenarnya mereka yang jumlahnya lebih besar lebih membutuhkan training untuk meningkatkan pengetahuan dan keahliannya. Kebanyakan training yang ada di perusahaan diberikan oleh mereka yang memang sudah mempunyai keahlian yang lebih tinggi, karena perusahaan mengharapkan keuntungan/returns yang lebih tinggi dari mereka yang masuk dalam kategori high skilled-labors.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perubahan tuntutan dunia kerja terhadap sumber daya manusia yang dibutuhkan. Oleh karena itu pengembangan kurikulum pendidikan tinggi harus bisa mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik sesuai dengan standar kompetensi dan tuntutan dunia usaha dan dunia industri. Sebagai realisasi di dalam memenuhi tuntutan dunia kerja tersebut, maka dalam perancangan kurikulum pendidikan mengacu pada karakteristik pendidikan yang dibutuhkan. Kerjasama yang harmonis antara dunia pendidikan dan industri memiliki peran untuk menyiapkanlulusannya agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri (wiraswasta) maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada.
Berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan yang saat ini berhasil dikembangkan adalah yang mengacu pada tuntutan dunia kerja, yaitu dunia usaha dan dunia industri yang berkembang di masyarakat. Sedangkan, di level pendidikan tinggi, kerjasama antara dunia pendidikan dan industri belum optimal. Alangkah baiknya jika kerjasama yang harmonis antara perusahaan dengan tenaga kerjany dalam dunia industri, dapat pula diterapkan bagi tingkat pendidikan tinggi dengan dunia industri. Hal ini menjadi tantangan berbagai pihak yang terkait seperti dinas pendidikan, dinas tenaga kerja, lembaga pendidikan, dan dunia industri dalam mewujudkan kerjasama yang terintegrasi sehingga dapat mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang berkualitas dan siap pakai di dunia industri.
Rendahnya kualitas SDM merupakan masalah utama dalam pengembangan SDM yang berkualitas. Hal ini disebabkan lulusan pendidikan tinggi di Indonesia masih relatif sedikit dibandingkan lulusan pendidikan dasar. Rendahnya tingkat pendidikan tinggi ini juga mempengaruhi produktivitas pekerja yang pada akhirnya mempengaruhi daya saing industri nasional. Tingkat daya saing industri Indonesia, berdasarkan data Human Development Report yang dikeluarkan UNDP, masih jauh tertinggal dibandingkan Negaranegara Asean seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Indonesia hanya lebih unggul dari Negara-negara yang termasuk kategori less-developed countries seperti Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar.
Di sisi lain, dengan mengacu pada data pengangguran yang memperlihatkan lebih tingginya lulusan S1 dibandingkan dengan lulusan D3 yang belum mendapatkan pekerjaan, di samping mengkampanyekan secara besar-besaran peran sekolah menengah kejuruan (SMK), Diknas memacu pendirian politeknik-politeknik baru. Namun demikian, berdasarkan pengamatan peneliti, nampaknya permasalahan yang dihadapi oleh SMK, maupun Politeknik adalah justru masih terbatasnya minat siswa. Untuk SMK, biasanya menjadi tujuan akhir bagi siswa yang nilai rata-rata ujian nasionalnya tergolong rendah dan tidak terkualifi kasi untuk mendapatkan kursi di SMU Negeri. Hambatan yang sama juga dihadapi oleh Politeknik, karena Kendala dan Realisasi Kebijakan Dunia Pendidikan dan Industri.

DAFTAR PUSTAKA
IMD, 2009. ’The World Competitiveness Scoreboard 2009’, http://www.imd. ch/research/ publications/wcy/upload/scoreboard.pdf (diakses 20 November 2009).

Hall, B.W., 2008. The new human capital strategy: improving the value ofyour most important investment-year after year, Amacom, USA.

Makhijani, N., Rajendran, K., dan Creelman, J., 2009. Best Practices inAlligning People with Strategic Goals, Azkia Publisher, Jakarta.

Mangkuprawira, T., S., 2004. Manajemen Sumber Daya ManusiaStrategik, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Cannings, K., & Montmarquette, C. (1991). Managerial Momentum: A Simultaneous Model of the Career Progress of Male and Female Managers. Industrial & Labor Relations Review, 2 (44), 212-228.


Farooq, S; Javid, A; Ahmed U; Khan, M. J. (2009). Educational and Qualifi cational Mismatches: Non-Monetary Consequences in Pakistan. European Journal of Social Sciences – Volume 9, Number 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar