BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Dunia
Pendidikan dan Industri dalam Meningkatkan Daya Saing Tenaga Kerja dan
Industri” paling tidak mengandung suatu makna penting bagi perekonomian
nasional. Makna ini terutama tentang berbagai aspek dalam hubungan/keterkaitan
dan kesesuaian antara dunia pendidikan sebagai supplier tenaga kerja dengan
dunia kerja sebagai demand tenaga kerja. Ditengarai adanya mismatch jenis dan
kualitas kompetensi supply tenaga kerja yang dihasilkan dunia pendidikan dengan
permintaan (kebutuhan) tenaga kerja oleh dunia kerja. Keadaan ini jelas
memperburuk keadaan over supply tenaga kerja di Indonesia yang secara langsung
mengakibatkan relatif rendahnya kapasitas/daya saing tenaga kerja yang
selanjutnya melemahkan daya saing dunia usaha khususnya dunia industri sebagai
"leading sector" dalam perekonomian industri.
Berdasarkan
data statistik angka pengangguran, tingginya lowongan kerja tak terisi,
rendahnya kualitas pekerja, maupun hasil analisis data sakernas menunjukkkan
bahwa hubungan pendidikan dan tuntutan dunia industri masih tinggi. Studi ini
bertujuan mengukur implementasi antara dunia pendidikan dan industri. Selain
mengkaji berbagai kebijakan bidang pendidikan, industri, dan tenaga kerja,
studi ini juga menggunakan metode survei terhadap para pekerja di beberapa industry.
terpilih di propins Jakarta yang
merupakan daerah dengan pangsa industry tertinggi, dan tingkat pengangguran
yang juga tinggi. Dengan melakukan kajian tentang implementasi kecocokan dunia
pendidikan dan industri, diharapkan dapat menghasilkan rumusan strategi untuk
menyelaraskan sistem pendidikan menengah ke atas yang sesuai dengan kebutuhan
dan permintaan pasar kerja. Kesesusaian kompetensi dengan jenis pekerjaan, akan
meningkatkan daya saing tenaga kerja dan juga industri (usaha), yang pada
gilirannya akan memperkuat perekonomian nasional.
Permasalahan
penting SDM di Indonesia tentu saja selain terletak pada tingginya tenaga kerja
terdidik yang tidak terserap di dunia kerja, juga munculnya misallocation of
human resources, yaitu adanya kesenjangan yang terjadi antara pasar tenaga
kerja dan dunia pendidikan. Hal ini antara lain tersirat dalam pernyataan
Dirjen Depnakertrans, Tjetje Al Anshori bahwa 70% angkatan kerja tidak mampu
memenuhi kualifi kasi lowongan kerja yang tersedia (dalam Job Expo, 17 Maret
2008). Pernyataan tersebut diangkat lagi oleh Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabinet Bersatu pertama, Erman Suparno bahwa tingginya lowongan
kerja yang tidak terisi ditengarai oleh karena adanya ketidakcocokan antara
kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja yang di antaranya karena kesenjangan
keterampilan dan pendidikan.
Dalam
menjembatani hal tersebut, sebetulnya Menteri Pendidikan Prof. Dr. Ing. Wardiman
(Periode 1989-1998) telah mencanangkan program link and match antara dunia
pendidikan dengan dunia industri. Link and match adalah penggalian kompetensi
yang dibutuhkan pasar kerja ke depan. Diharapkan paradigm orientasi pendidikan
tidak lagi supply minded tapi lebih demand minded (kebutuhan pasar). Program
link and match meliputi dua sasaran, yaitu pada tingkat sekolah menengah, dan
pada tingkat perguruan tinggi. Khusus untuk sekolah menengah, sasaran program
pemerintah (cq DEPDIKNAS) mengubah proporsi siswa SMU vs SMK 70:30, menjadi
30:70. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi diharapkan adanya peran
industri untuk menciptakan pelatihan-pelatihan khusus bahkan bekerja sama untuk
mendirikan institusi sesuai dengan jenis industri yang dikembangkan.
Sejak
tahun 1994, Dewan Pengembangan Program Kemitraan Pendidikan Tinggi (DPPKPT)
mengembangkan konsep Cooperative Academic Education Program (Co-Op) yang
menjalin kerjasama dengan lebih dari 62 industri, terdiri dari manufaktur, perbankan
hingga telekomunikasi. Namun demikian, pasca berjalannya program Link and Match
(hampir dua dasawarsa), belum nampak hasil seperti yang diharapkan. Masih
tinggi lulusan sarjana, di samping bekerja tidak sesuai dengan bidang studi,
juga harus menunggu dalam waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain,
lowongan kerja yang tidak terisi semakin meningkat. Mengacu pada beberapa
phenomena di atas, maka penelitian yang mengkaji implementasi kebijakan link
and match dunia pendidikan dan industri sebagai salah satu upaya strategis
untuk meningkatkan efi siensi, mutu tenaga kerja dan daya saing industri, layak
untuk dilakukan.
Tingginya
angka pengangguran dapat dijelaskan dari berbagai aspek, salah satu diantaranya
adalah adanya ketidak selarasan (mismatch) antara supply tenaga kerja dan
demand dunia usaha (industri). Pada tulisan
ini jawaban yang diberikan untuk menjelaskan tingginya angka
pengangguran dilakukan menggunakan asumsi ketidak selarasan (mismatch) dunia
pendidikan dan industry yang dikenal dengan istilah education mismatch atau
education-job mismatch. Francesca Sgobbi and Fátima Suleman mengemukakan bahwa
mismatch pendidikan terjadi oleh karena adanya heterogenitas kemampuan pekerja
pada kualifi kasi pendidikan yang sama. Kesadaran dari adanya heterogenitas kemampuan
dari para pekerja juga telah meningkatkan perhatian para peneliti untuk
memusatkan pertanyaan penelitian nya terhadap mismatch pendidikan, khususnya di
Negara-negara maju.
1.2
Rumusan masalah
1. Bagaimana menyikapi
tentang permsalahan ekonomi tentang koordinasi dunia pendidikan dan industry?
2. Bagaimana koordinasi
dunia pendidikan dan industry yang baik untuk mengatasi permasalahan ekonomi
yang ada?
1.3
Telaah literature
Berbagai teori
dikemukakan dalam memahami fenomena keselarasan pendidikan ini. Beberapa
diantaranya:
1.Sgobbi & Suleman
(2007) dengan teori human capital, job matching, dan occupational mobility,
2.Brahim Boudarbat dan
Victor Chernoff (2009) menggunakan human capital, credentialism, job matching,
dan technological change theory,
3. Farooq, Javid,
Ahmed, dan Khan (2009), mengemukakan human capital, job competition, career
mobility, assignment model, signaling model, dan matching theory.
Dari
ketiga kelompok peneliti tersebut paling tidak terdapat dua pendekatan yang
sama, yaitu teori tentang human capital dan job matching, dimana mereka
berpendapat bahwa mismatch pendidikan merupakan keadaan sementara yang terjadi
akibat pertukaran informasi yang kurang memadai antara pemberi kerja dan
pencari kerja. Hal ini paling tidak menunjukkan adanya in-effi siensi dalam
alokasi sumber daya manusia (Farooq et al, 2009).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Koordinasi Dunia Pendidikan dan industry
Permasalahan
tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tingginya angka pengangguran
disamping permasalahan lain seperti kualitas tenaga kerja, upah dan lain
sebagainya. Sebagai pencari kerja dengan latar belakang pendidikan yang tinggi
(dalam penelitian ini adalah mereka yang lulus Diploma 1 ke atas), mereka
mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pencari kerja dengan
tingkatan pendidikan di bawahnya (sekolah menengah dan sekolah dasar). Bagi
dunia industri, para pencari kerja ini juga dilihat sebagai sumberdaya manusia
dengan tuntutan dan perlakuan yang berbeda. Adanya dinamika yang muncul dalam dunia
kerja memberikan dampak tersendiri baik itu bagi pekerja maupun
perusahaan/dunia industri.
Perkembangan
dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era yang ditandai dengan gencarnya
inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan yang
selaras dengan tuntutan dunia kerja. Pendidikan harus mencerminkan proses
memanusiakan manusia dalam arti mengaktualisasikan semua potensi yang
dimilikinya menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat luas. Tingkat keberhasilan pembangunan nasional
Indonesia di segala bidang akan sangat bergantung pada sumber daya manusia
sebagai aset bangsa dalam mengoptimalkan dan memaksimalkan perkembangan seluruh
sumber daya manusia yang dimiliki. Upaya tersebut dapat dilakukan dan ditempuh
melalui pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur
pendidikan non formal.
Perubahan
dan perkembangan industri yang jauh lebih cepat dan berkembang, sementara
orientasi pendidikan tidak mudah melakukan penyesuaian terlebih dalam waktu
yang singkat. Dicontohkan antara lain, perubahan tuntutan ketrampilan/keahlian
tukang las misalnya. Pengajaran masih menggunakan bahan ajar dengan peralatan
yang konvensional, padahal di dunia kerja sekitarnya sudah menggunakan perlatan
kerja yang sangat modern masalah kurikulum pendidikan. Kurikulum nasional
kurang sesuai dengan kondisi daerah/kondisi lokal. Belum ada panduan nasional
yang berfungsi untuk menjadi pedoman pengembangan kurikulum sehingga
mengakibatkan pengembangan kurikulum di daerah menjadi stagnan. Selain itu
kurangnya interaksi antara dunia pendidikan dan industri, mengakibatkan kebutuhan
perusahaan tidak dapat diakomodir oleh dinas pendidikan setempat pada saat
penyusunan kurikulum dilakukan.
Dalam
aspek yang lain, kurikulum diharapkan mampu mengembangkan keahlian para lulusan
perguruan tinggi. Keterkaitan kurikulum dunia pendidikan dan industri
diimplementasikan dalam membentuk Balai Besar Latihan Kerja Industri guna
meningkatkan keahlian baik bagi calon tenaga kerja maupun para karyawan yang
telah berkerja. rendahnya kondisi daya saing indonesia, disebabkan oleh
buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu:
a
Buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan
internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga.
b.
buruknya efi siensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan
pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fi skal, pengembangan berbagai
peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi
akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan
kompleksitas struktur sosialnya,
c.lemahnya
efi siensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara
bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah,
pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah,
serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum professional.
d.
keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan
infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan
dan kesehatan.
Tingginya
tingkat pengangguran bagi mereka yang berpendidikan lebih tinggi ini antara
lain dikarenakan tingkat persaingan yang lebih ketat di sektor formal-dimana
para pencari kerja dengan pendidikan tinggi mengkonsentrasikan dirinya untuk
bekerja sebagai pegawai atau staff . Sedangkan yang berpendidikan lebih rendah
bisa lebih mudah untuk masuk ke sektor informal. Relatif tingginya tingkat
pengangguran di kalangan pencari kerja dengan pendidikan tinggi ini juga
merupakan indikasi adanya ketidaksinkronan keahlian antara yang diajarkan oleh
lembaga pendidikan formal dan apa yang diminta oleh dunia industry.
Dalam
upaya untuk meningkatkan produktivitas pekerja, hendaknya ada kerjasama
sinergis antara perusahaan, dunia pendidikan dan pemerintah baik pusat maupun
daerah untuk memberikan training kepada pekerja melalui lembaga pelatihan.
Sebenarnya mereka yang jumlahnya lebih besar lebih membutuhkan training untuk
meningkatkan pengetahuan dan keahliannya. Kebanyakan training yang ada di
perusahaan diberikan oleh mereka yang memang sudah mempunyai keahlian yang
lebih tinggi, karena perusahaan mengharapkan keuntungan/returns yang lebih
tinggi dari mereka yang masuk dalam kategori high skilled-labors.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perubahan tuntutan dunia kerja
terhadap sumber daya manusia yang dibutuhkan. Oleh karena itu pengembangan kurikulum
pendidikan tinggi harus bisa mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar kepada
peserta didik sesuai dengan standar kompetensi dan tuntutan dunia usaha dan
dunia industri. Sebagai realisasi di dalam memenuhi tuntutan dunia kerja
tersebut, maka dalam perancangan kurikulum pendidikan mengacu pada
karakteristik pendidikan yang dibutuhkan. Kerjasama yang harmonis antara dunia
pendidikan dan industri memiliki peran untuk menyiapkanlulusannya agar siap
bekerja, baik bekerja secara mandiri (wiraswasta) maupun mengisi lowongan
pekerjaan yang ada.
Berdasarkan
pengamatan dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan yang saat ini berhasil
dikembangkan adalah yang mengacu pada tuntutan dunia kerja, yaitu dunia usaha
dan dunia industri yang berkembang di masyarakat. Sedangkan, di level
pendidikan tinggi, kerjasama antara dunia pendidikan dan industri belum
optimal. Alangkah baiknya jika kerjasama yang harmonis antara perusahaan dengan
tenaga kerjany dalam dunia industri, dapat pula diterapkan bagi tingkat
pendidikan tinggi dengan dunia industri. Hal ini menjadi tantangan berbagai pihak
yang terkait seperti dinas pendidikan, dinas tenaga kerja, lembaga pendidikan,
dan dunia industri dalam mewujudkan kerjasama yang terintegrasi sehingga dapat
mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang berkualitas dan siap pakai di
dunia industri.
Rendahnya
kualitas SDM merupakan masalah utama dalam pengembangan SDM yang berkualitas.
Hal ini disebabkan lulusan pendidikan tinggi di Indonesia masih relatif sedikit
dibandingkan lulusan pendidikan dasar. Rendahnya tingkat pendidikan tinggi ini
juga mempengaruhi produktivitas pekerja yang pada akhirnya mempengaruhi daya
saing industri nasional. Tingkat daya saing industri Indonesia, berdasarkan
data Human Development Report yang dikeluarkan UNDP, masih jauh tertinggal
dibandingkan Negaranegara Asean seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam,
Thailand dan Filipina. Indonesia hanya lebih unggul dari Negara-negara yang termasuk
kategori less-developed countries seperti Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar.
Di
sisi lain, dengan mengacu pada data pengangguran yang memperlihatkan lebih
tingginya lulusan S1 dibandingkan dengan lulusan D3 yang belum mendapatkan pekerjaan,
di samping mengkampanyekan secara besar-besaran peran sekolah menengah kejuruan
(SMK), Diknas memacu pendirian politeknik-politeknik baru. Namun demikian,
berdasarkan pengamatan peneliti, nampaknya permasalahan yang dihadapi oleh SMK,
maupun Politeknik adalah justru masih terbatasnya minat siswa. Untuk SMK,
biasanya menjadi tujuan akhir bagi siswa yang nilai rata-rata ujian nasionalnya
tergolong rendah dan tidak terkualifi kasi untuk mendapatkan kursi di SMU Negeri.
Hambatan yang sama juga dihadapi oleh Politeknik, karena Kendala dan Realisasi
Kebijakan Dunia Pendidikan dan Industri.
DAFTAR
PUSTAKA
IMD, 2009. ’The World
Competitiveness Scoreboard 2009’, http://www.imd.
ch/research/ publications/wcy/upload/scoreboard.pdf (diakses 20 November 2009).
Hall, B.W., 2008. The
new human capital strategy: improving the value ofyour most important
investment-year after year, Amacom, USA.
Makhijani, N.,
Rajendran, K., dan Creelman, J., 2009. Best Practices inAlligning People with
Strategic Goals, Azkia Publisher, Jakarta.
Mangkuprawira, T., S.,
2004. Manajemen Sumber Daya ManusiaStrategik, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Cannings, K., &
Montmarquette, C. (1991). Managerial Momentum: A Simultaneous Model of the
Career Progress of Male and Female Managers. Industrial & Labor Relations
Review, 2 (44), 212-228.
Farooq, S; Javid, A;
Ahmed U; Khan, M. J. (2009). Educational and Qualifi cational Mismatches:
Non-Monetary Consequences in Pakistan. European Journal of Social Sciences –
Volume 9, Number 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar